Pingin PINTAR?? Makanya BELAJAR!!

Rabu, 28 Oktober 2009

Perekonomian Indonesia 4

Globalisasi Ekonomi, Tekanan Ideologi Kapitalis, dan
Perekonomian Indonesia

Globalisasi Ekonomi :
• Globalisasi Þ dunia tanpa batas (borderless), ada kebebasan untuk lintas batas untuk berbagai macam aktivitas manusia
• Dalam konteks ekonomi, globalisasi dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan, dan pasar uang.
• Globalisasi dalam pengertian ini merupakan suatu proses yang berada di luar jangkauan kontrol pemerintah (menjadi faktor eksternal), karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global dan bukannya oleh sebuah pemerintahan secara individu.
• Kebebasan lalu lintas barang dan jasa dari satu negara ke negara lain.
• Jadi: “Hambatan” yang bisa mengganggu lalu lintas ekonomi antarnegara harus dihilangkan atau secara bertahap dikurangi.
Perkembangan Globalisasi Ekonomi :
• Globalisasi ekonomi gencar disuarakan negara-negara maju sejak dekade 1970-an
• Pasar barang dan jasa, terutama yang sudah sangat kompetitif, dituntut untuk diliberalisasikan.
• Berbagai badan dibentuk untuk mendukung perwujudan globalisasi ekonomi, baik integrasi ekonomi regional, seperti APEC, NAFTA, AFTA, maupun integrasi global seperti WTO (GATT)
• Negara-negara berkembang juga digiring untuk segera mewujudkan keterbukaan ekonomi tersebut.

Dampak Globalisasi :
• Secara teoretik, globalisasi dapat membawa perekonomian pada suatu titik efisiensi tertinggi.
• Namun bagi negara yang lemah dan kurang kompetitif dapat menjadi suatu malapetaka.
• Globalisasi ekonomi layak didukung manakala kekuatan ekonomi negara-negara dunia sudah agak setara
Kondisi Saat Ini :
• Dengan ketimpangan dunia yang ada saat ini, di mana sebagian besar negara dunia adalah negara miskin yang belum terbiasa dengan budaya persaingan bebas, maka globalisasi ekonomi bisa melahirkan ketidakadilan.
Akibatnya :
• Banyak negara berkembang meragukan arah globalisasi ekonomi saat ini.
• Muncul tuntutan “free trade” dan “fair trade” dalam globalisasi ekonomi
• Negara-negara maju ternyata masih memberikan subsidi yang besar untuk produksi pertanian dan peternakan mereka Þ prinsip “free trade” dan “fair trade”???
• Lepas dari pertentangan tersebut, globalisasi masih berjalan.
• Langkah antisipatif kita adalah meningkatkan efisiensi dan daya saing.
• Efisiensi tersebut dapat terwujud jika di dalam negeri berlangsung pola perdagangan yang fair (fair trade) seperti yang dituntut negara berkembang terhadap negara maju
Catatan Penting :
• “....Sebanyak 3000 petani dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung unjuk rasa di Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, dan Bundaran HI tanggal 10 April 2003.... Mereka menolak produk impor pertanian yang akan mematikan petani dalam negeri. Mereka juga meminta pemerintah menaikkan bea masuk komoditi beras, kedelai, gula putih, dan bawang merah ....”[1]
• “Ratusan ribu tenaga kerja industri persepatuan nasional terancam kelangsungan pekerjaannya, karena pihak pabrik cenderung memilih impor sepatu setengah jadi dari Cina .... Dengan murahnya harga sepatu impor tersebut, sejumlah pengusaha lebih suka impor. Mereka tidak perlu menanggung biaya buruh dan tuntutannya ...”[2]
• “Di Kediri para aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia menggelar unjuk rasa di depan Kantor Pemkab Kediri.... Mereka menggelar poster berbunyi ‘Petani Tolak Globalisasi, Tolak Impor Produk Pertanian, dan Tolak Privatisasi Air....”[3]
• “... bumi kita semakin terancam keberlanjutannya dengan penggadaian layanan alam dan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh paradigma pembangunan yang dianut Pemerintah Indonesia, neoliberalisme yang berwujud dengan pendewaan terhadap pasar dan semakin berkurangnya peran pemerintah dalam perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat.... Bumi dan segala kekayaannya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dianggap hanya sebagai komoditi dan terancam oleh kerakusan kapitalisme.... Bumi terlihat semakin rentan dengan semakin rusaknya lingkungan hidup ... Kerakusan kapitalisme global merupakan penyebab utama terjadinya itu semua ....”[4].
• “Ratusan karyawan PT Indosat kembali melakukan unjuk rasa di halaman kantor PT Indosat. Mereka menuntut pemerintah membatalkan divestasi Indosat. Sekitar 500 karyawan .... membentangkan spanduk dan poster bertuliskan diantaranya ‘Kembalikan Indonesiaku’, ‘Tolak Monopoli Asing’, dan ‘Go to hell setan privatisasi’[5]
• “Sekitar 300 petani garam asal Madura melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPRD Jatim (Rabu 12/10/2004). Mereka menuntut agar Dewan melarang dan menghentikan pembongkaran puluhan ribu ton garam impor di Pelabuhan Jamrud Tanjung Perak ....” [6]
• “.... 2602 Usaha Kecil dan Menengah di DIY menghentikan usahanya dan banting stir ke usaha lainnya. Langkah ini dilakukan seiring dengan meningkatnya persaingan produk yang mengakibatkan mereka tersingkir dan beralih usaha...”[7] (KR, 21/4/2005).
• “Produksi kedelai terus menurun dari tahun ke tahun. Petani kedelai masih berharap agar pemerintah memberi perlindungan dari serangan kedelai impor. Petani bawang, petani hortikultura, dan petani komoditas lainnya berharap sama....”[8]
• “.... 300 organisasi lingkungan melakukan aksi menentang WTO, IMF dan Bank Dunia di arena PrepCom World Summit for Sustainable Development di Bali (3/6/2002). Seratus aktivis perempuan dan pemuda, puluhan Ornop, serikat buruh, serikat tani, demo menentang globalisasi (4-5/6/2002). Puncaknya 6 Juni 2002, 1000 massa dari berbagai elemen demo menentang globalisasi, sekaligus mengecam keras acara tersebut sebagai alat negara dunia pertama untuk mengeksploitasi negara dunia ketiga...”[9]
• Globalisasi, menurut penelitian Rice dan Sulaiman (2004: 80-90) telah menimbulkan berbagai kesulitan bagi ekonomi Indonesia, di samping juga menciptakan beberapa peluang.
• Sedang Mubyarto (2002: 1-4) menilai globalisasi telah menjadi kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang telah menyengsarakan kehidupan Bangsa Indonesia, sehingga harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat.
• Tanggapan sebagian masyarakat di tanah air terhadap proses globalisasi ekonomi yang sedang berjalan, hampir sama dengan kondisi global: ada yang bisa menerima, tetapi banyak yang menentang. Pandangan yang menentang menganggap proses globalisasi yang berlangsung saat ini merupakan hasil rekayasa dari korporasi internasional dan negara-negara maju, di samping juga pandangan yang menilainya sebagai pemaksaan ideologi ekonomi yang tidak sejalan dengan ideologi ekonomi nasional. Kampanye ideologi ini disebarkan melalui media global milik korporasi-korporasi internasional bidang media yang berpusat di negara maju (Hartiningsih, 2005: 33).
• Dengan ideologi ekonomi liberal tersebut, Bangsa Indonesia dipaksa menyesuaikan dengan sesuatu yang berbeda dengan pandangan hidupnya. Melalui berbagai payung “kesepakatan” (agreements) yang dinaungi WTO (World Trade Organization), Bank Dunia, ataupun IMF (International Monetary Fund), perekonomian nasional semakin digiring ke arah persaingan bebas, keterbukaan ekonomi yang luas, pengurangan campur tangan pemerintah dalam ekonomi, maupun penjualan aset-aset BUMN kepada investor asing lewat apa yang dikenal dengan privatisasi ataupun divestasi. Lewat saran dari IMF pula kita melakukan penyehatan perbankan dengan biaya sampai Rp 650 triliun, melalui dana rekapitalisasi perbankan yang kini setiap tahun menjadi beban rakyat yang tercermin pada APBN.
• Dengan idologi ekonomi liberal tersebut, maka berbagai subsidi seolah “diharamkan”, harga domestik harus tidak jauh berbeda dengan harga di pasar dunia. Akibatnya, berbagai subsidi yang dinikmati lapisan masyarakat bawah, harus dihapuskan. Harga Bahan Bakar Minyak, misalnya, harus disesuaikan dengan harga di luar negeri, walaupun disadari akibatnya telah memerosotkan kesejahteraan masyarakat miskin.
• Salah satu tekanan lewat proses globalisasi yang “sukses” dapat dilihat dalam sistem nilai tukar kita. Indonesia yang sebelumnya menganut sistem nilai tukar mengambang (managed floating exchange rate system) berubah ke sistem nilai tukar bebas (freely floating exchange rate systemt) pada bulan Agustus 1997. Sejak diberlakukannya sistem tersebut, nilai tukar rupiah mengalami tekanan depresiasi yang tinggi disertai gejolak (volatilitas) yang tinggi pula. Sebagian pemilik dana menjadi “hobi” berspekulasi dengan sistem tersebut, sehingga tidak mengherankan kemudian banyak rumah tangga yang memegang mata uang asing, dan menjualnya pada saat rupiah terdepresiasi.
• Studi Tuwo dan Hidayat (2003: 33) menyimpulkan, penerapan sistem nilai tukar bebas ini belum memberikan hasil yang signifikan pada penyembuhan perekonomian Indonesia. Kondisi tersebut dapat dilihat dari indikator-indikator volatilitas nilai tukar, volatilitas cadangan devisa, volatilitas suku bunga, dan volatilitas pasar uang yang masih tinggi.
• Globalisasi membuat ekonomi kita yang masih rentan menjadi mudah bergejolak sebagai akibat bebasnya lalu lintas modal, terutama yang terkait investasi tidak langsung di pasar modal. Pemain di pasar modal sangat berorientasi jangka pendek. Gejolak sedikit saja berpotensi mengalirkan dana triliunan dalam sekejap. Arus modal keluar terjadi dengan cepat seperti tahun 1997-1998 ketika krisis moneter melanda tanah air. Kondisi ekonomi yang sudah rapuh semakin dibuat terpuruk dengan banyaknya pemilik modal melepas sahamnya di bursa-bursa tanah air. Konsekuensi dari semua itu, kita memerlukan cadangan devisa yang besar agar dapat mengatasi dampak gejolak pada neraca modal. Padahal untuk meningkatkan cadangan devisa tidak mudah sebagai akibat masih rendahnya efisiensi dan daya saing produk dalam negeri dan ketatnya persaingan di pasar global.
• Tekanan melalui Letter of Intents dengan IMF untuk melaksanakan privatisasi telah membuat BUMN yang memiliki reputasi dunia dan profitable harus dilepas. Misalnya terjadi pada PT Indosat, salah satu BUMN yang tidak saja mampu memberikan keuntungan tinggi, melainkan juga membanggakan lewat kepemilikan atas satelit-satelit telekomunikasinya. Padahal, sebagaimana dikemukakan Stiglitz (2002: xi), privatisasi seharusnya dapat membuat perusahaan lebih efisien dan menjual harga lebih murah pada konsumennya”. Jadi bukan sekedar untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah atau harus “mengejar setoran” untuk mengatasi kesulitan fiskal. Pengamatan pada proses privatisasi di tanah air selama ini menunjukkan hal yang jauh dari tujuan yang seharusnya terjadi, yakni untuk menyehatkan perusahaan, meningkatkan efisiensi, dan melindungi konsumen yang arahnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
• Makna dan Evolusi Globalisasi
• David Merret (2005: 23), pengajar matakuliah Global Management Issues di Univesity of Melbourne bahwa “there is little consensus about what ‘globalisation’ is and whether its outcomes are for better or worse”.
• Globalisasi ekonomi masih mengandung banyak pertanyaan dan perdebatan, khususnya tentang untung-ruginya bagi masyarakat dunia secara keseluruhan
• Dalam pengertian umum, Davies dan Nyland (2004: 5-6) menemukan lima pengertian globalisasi tersebut, yaitu (1) internasionalisasi; (2) liberalisasi; (3) universalisasi (universalization); (4) Westernisasi (westernization) atau modenisasi; dan (5) suprateritorialitas (supraterritoriality), yang mengandung makna bahwa “ruang sosial tidak lagi dipetakan atas dasar tempat, jarak, dan batas-batas wilayah”.
• Secara lebih sempit yang mengaitkannya degan ekonomi, Pieterse (2001:1) mendefiniskan globalisasi sebagai proses percepatan untuk menyatukan (intermeshing) dunia dalam bidang ekonomi. Secara lebih rinci dikemukakannya:
• “.... the accelerated worldwide intermeshing of economies, and cross border traffic and communication becoming ever denser. Technological change is speeding up. Risks and opportunities are globalizing.... Globalization means global effect and global awareness, and therefore increasingly it also means global engagement,” (loc.cit).
• Stiglitz dalam “Globalization and Its Discontents” (2002: ix) mengartikan globalisasi sebagai “penghapusan berbagai hambatan perdagangan untuk mewujudkan perdagangan bebas dan memperkuat integrasi ekonomi antarnegara”.
• Secara lebih luas dikemukakannya “globalisasi sebagai penyatuan yang semakin dekat antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat di dunia yang disebabkan oleh penurunan yang besar dari biaya transportasi dan komunikasi, dan dihapuskannya berbagai penghalang artifisial bagi arus barang, jasa, modal, pengetahuan, dan (dalam skala yang lebih kecil) lintas batas manusia (ibid.: 9).
• Sedang Anne Krueger, seorang petinggi IMF, mendefinisikannya sebagai “a phenomenon by which economic agents in any given part of the world are much more affected by events elsewhere in the world than before” (Wolf, 2004: 14).
• Djiwandono (2004: 1) menyatakan bahwa globalisasi adalah hilangnya batas-batas atau sekat-sekat antarnegara di mana dunia menjadi tanpa batas atau borderless.
• Jadi, dalam perspektif ekonomi, globalisasi merupakan suatu pengintegrasian ekonomi secara global.
• Dengan demikian, jika globalisasi ekonomi mewujud - dalam arti luas - berarti tidak ada lagi batas-batas negara dalam transaksi ekonomi. Komoditi menjadi bebas tanpa hambatan untuk berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Tidak ada lagi hambatan-hambatan bisnis atau perdagangan internasional, baik berupa tariff barriers maupun non-tarif barriers (Hamid, 2004).
• Apapun definisinya, substansi yang selalu melekat hampir sama, yakni upaya untuk menyatukan atau mengintegrasikan perekonomian global.
• Dari perspektif sejarah, upaya menyatukan ekonomi global tersebut sudah berlangsung sejak lama.
• Menurut Elwood (2001:12-13) globalisasi ekonomi sebagai suatu kata atau istilah memang merupakan terminologi yang baru, namun sebagai aktivitas mengglobalnya ekonomi itu sudah berlangsung sangat lama, yakni sejak masa kolonialisme Eropa lima abad yang lalu. Globalisasi ekonomi waktu itu terjadi untuk mendapatkan kekayaan di belahan dunia yang sebelumnya tidak terjangkau.
• Christopher Columbus, didukung dana dari Raja dan Ratu Spanyol berlayar menuju wilayah Asia yang diberitakan berlimpah dengan kekayaan alam dan emasnya.[10] Upaya mencari wilayah baru untuk memperoleh kekayaan bagi negara yang relatif kaya semacam ini terus berlanjut.
• Pandangan-pandangan demikian merupakan pandangan kaum merkantlis pada abad ke-17 dan ke-18, yang menjadikan globalisasi ekonomi guna memperoleh surplus perdagangan dalam rangka memperkuat negaranya.
• Globalisasi ekonomi yang sudah berakar sejak berabad-abad tersebut terus berevolusi. Titik yang signifikan terjadi tahun 1947 saat mulai berlakunya dan dilembagakannya Perjanjian Umum tentang Tariff dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).
• Komitmen yang mengarah pada globalisasi perdagangan dunia yang dimotori oleh Amerika Serikat tersebut pertama kali hanya diikuti oleh 23 negara. Evolusi globalisasi ekonomi ini kemudian berkembang sangat cepat sejak akhir 1980-an. Melalui perundingan panjang yang dilakukan GATT selama 8 tahun, yang dikenal dengan Putaran Uruguay pada tahun 1995 berhasil memutuskan membentuk World Trade Organization (WTO). Keanggotaan WTO ini terus berkembang dan sampai Februari 2005 mencapai 148 negara, dengan bidang cakupan yang lebih luas, yakni menyangkut liberalisasi lalulintas barang dan jasa (GATS).
• Secara garis besar, evolusi atau kecenderungan globalisasi ini dapat dikategorisasikan menjadi tiga tahap (Djiwandono, 2004: 3), yaitu:
• (a) gelombang pertama antara tahun 1870-1914. Periode ini ditandai perkembangan dalam peralatan transportasi dan penurunan rintangan perdagangan sehingga meningkatkan perdagangan internasional dan investasi oleh negara-negara Amerika Utara dan Eropa ke berbagai kawasan;
• (b) gelombang kedua antara tahun 1950-1980, yang ditandai oleh integrasi negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Laju pertumbuhan negara berkembang juga meningkat, namun umumnya jurang perbedaan antara negara maju dengan negara berkembang semakin besar;
• (c) gelombang globalisasi mutakhir mulai tahun 1980-sekarang, yang ditandai oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, perkembangan sejumlah negara-negara berkembang yang membuka diri terhadap perdagangan luar negeri dan investasi asing (Washington Concensus). Dapat dikatakan sejak akhir 1980-an globalisasi yang sebelumnya berjalan lamban, berubah dari proses evolusi menjadi revolusi .
• Liberalisasi Perdagangan dan konsekuensi bagi Negara-negara Berkembang
• Liberalisasi perdagangan menjadi ujung tombak globalisasi ekonomi. Sepanjang yang dapat dilihat saat ini, perkembangan perdagangan dunia memang sangat pesat sejak GATT tersebut. Namun secara absolut, perkembangan menjadi sangat cepat selama dua dasawarsa terakhir ini.
• Dilaksanakannya keputusan-keputusan dari Putaran Uruguay semakin mempercepat perdagangan dunia tersebut. Globalisasi, yang dalam perdagangan internasional menjadi liberalisasi perdagangan, telah menghapuskan berbagai hambatan perdagangan secara signifikan, baik itu hambatan yang berwujud tarif bea masuk maupun hambatan-hambatan bukan tarif, seperti pelarangan impor, kuota, lisensi impor, dan sebagainya. Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia itu, sebagai implementasi GATS (General Agreement on Trade and Services) , semakin menyudutkan posisi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa.
• Kesepakatan GATS sangat menguntungkan negara maju, terutama yang sektor jasanya sudah mumpuni, tetapi sebaliknya bagi negara bekembang seperti Indonesia. Kita tidak lagi bisa menutup diri dari pembukaan kantor-kantor konsultan dagang asing, kon¬sultan hukum ataupun kantor-kantor akuntan, bahkan pada lembaga pendidikan asing. Lewat GATS pula kini “pengetahuan” dianggap sebagai suatu komoditi sehingga pendirian lembaga pendidikan juga tunduk pada ketentuan WTO. Hal ini sedang “digugat” oleh pimpinan perguruan tinggi di tanah air.[11]
• Ahli asing pun akan lebih banyak memberikan training-training untuk pihak-pihak yang membutuhkan di Indonesia. Dengan kata lain, "lalulintas" antarne¬gara bagi manusia yang masuk dalam kategori tenaga profesional semakin deras. Bagi Indonesia hal itu sangat mengkhawatirkan karena sebelumnya banyak pembatasan dalam lalulintas jasa internasional ini. Misalnya adanya hambatan lalulintas tenaga profesi untuk bekerja di negara lain, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang; pembatasan dalam pembukaan kantor cabang; penerapan standar-standar profesi yang berbeda; dan sebagainya.
• Persaingan yang lebih bebas, terlebih tanpa antisipasi yang memadai, berpotensi meningkatkan defisit perdagangan sektor jasa. Dalam GATS Indonesia telah memberi¬kan cukup banyak komitmen, mencakup lima sektor yang melingkupi 68 kegiatan/transaksi. Memang komitmen terhadap perdagangan jasa yang telah diberi¬kan tersebut tidak sepenuhnya bersifat liberal. Berbagai pembatasan masih bisa diberlakukan, seperti kewajiban untuk patungan pada sektor jasa tertentu, pembatasan saham, batasan masa tinggal, dan sebagainya. Kalau dengan kondisi penuh pembatasan saja sektor jasa nasional sudah mengalami kesulitan, maka pengenduran pembatasan membuat posisi sektor jasa semakin sulit.
• Secara makro-global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas tersebut merefleksikan peningkatan kesejahteran masyarakat dunia. Namun kesimpulan tersebut dipertanyakan manakala dilihat siapa atau negara-negara mana sebenarnya yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat tersebut. Data menunjukkan ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara-negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara untuk negara Asia hanya terkonsentrasi pada Jepang dan Cina.
• Fakta demikian bukan sesuatu yang mengejutkan dan sudah diperkirakan jauh sebelum hasil Putaran Uruguai dilaksanakan. Ketika Putaran Uruguay sedang berlangsung, dua lembaga-lembaga ekonomi internasional, OECD dan Bank Dunia (1992), yang meneliti kemungkinan dampak liberalisasi perdagangan dunia terhadap beberapa negara di dunia menunjukkan manfaat terbesar liberalisasi pasca Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara-negara anggota Masyarakat Eropa (Uni Eropa), Cina, Jepang, USA, dan negara-negara yang tergabung dalam EFTA (Lampiran 2). Kecuali RRCina, yang skala ekonominya sangat besar dan berdaya saing tinggi, semua negara yang diuntungkan tersebut adalah negara-negara maju, yang gencar memperjuangkan globalisasi ekonomi. Dengan mengasumsikan terjadi pengurangan tarif dan subsidi sebesar 30%, liberalisasi perdagangan dunia tahun 2020 akan memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 213 miliar dollar AS. Dari nilai itu, US$ 80,7 miliar dinikmati negara-negara anggota Masyarakat Eropa, diikuti RRCina (US$37 miliar), Jepang (US$ 25,9 miliar), Amerika Serikat (US$ 18,8 miliar), dan negara-negara anggota EFTA (US$ 12,3 miliar). Indonesia diperkirakan waktu itu mengalami kerugian US$1,9 miliar (OECD dan IBRD dalam Hamid dan Hendrie Anto, 2000: 102-103). Perkiraan tersebut memang dengan basis situasi ekonomi waktu itu. Dengan sedikitnya pergeseran kekuatan ekonomi yang ada, secara kualitatif kesimpulan tersebut telah menunjukkan kebenarannya.
• Globalisasi perdagangan bagi negara sedang berkembang juga telah memerosotkan nilai tukar ekspornya terhadap impor barang-barang manufaktur yang dibutuhkannya. Bahkan, kemerosotan nilai tukar ini cenderung semakin parah dan menyebabkan perpindahan sumber daya riel yang diakibatkan oleh hilangnya potensi pendapatan atas ekspornya sebagai akibat kemerosotan nilai tukar. Berdasarkan kenyataan demikian Stiglitz (2002: ix-x) meminta agar pelaksanaan globalisasi, termasuk berbagai agreement mengenai perdagangan dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali secara radikal.
Konsekuensi perdagangan bebas sbb:
• “Pemikiran bahwa semua pihak akan diuntungkan dan tidak akan ada yang dirugikan dalam perdagangan bebas terbukti sangat menyederhanakan masalah. Sejumlah negara memperoleh keuntungan lebih banyak dibanding yang lain; dan beberapa diantaranya (terutama negara-negara miskin) tidak memperoleh apapun, kecuali menderita kerugian yang sedemikian besar bagi perekonomian mereka. Hanya sedikit negara yang menikmati pertumbuhan sedang atau tinggi dalam dua dekade terakhir, sementara sejumlah besar negara mengalami penurunan standar hidup….”
• Pandangan lain yang tidak kalah keras dalam menolak pola perdagangan dunia yang didominasi WTO ini juga datang dari Walden Bello (2004) dalam bukunya yang judulnya provokatif: “De-globalisasi” (deglobalization). Bello melihat sudah terjadi kekacauan dalam sistem multilateral. WTO dinilai sudah menjadi perpanjangan tangan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) yang menjadi monopolis dan oligopolis dunia. Ini misalnya dapat dilihat dilegitimasikannya perjanjian yang terkait dengan hak milik intelektual (TRIPS= Trade Related with Intellectual Property Rights) yang mengukuhkan pengambilalihan inovasi teknologi oleh perusahaan transnasional seperti Intel, Microsoft, dan Monsanto.
• Secara khusus dikemukakannya bahwa “ekspansi dari perdagangan bebas dan ekspansi kekuasaan dan yurisdiksi WTO, yang saat ini merupakan instrumen multilateral dari perusahaan global yang sangat kuat, merupakan ancaman yang mematikan terhadap pembangunan, keadilan sosial dan persamaan hak, dan lingkungan” (154). Oleh karena itu, kecendrungan yang demikian harus ditentang dan dicegah agar tidak terus berkembang.
• Intervensi negara-negara maju melalui lembaga-lembaga internasional yang dirancangnya dan melalui korporasi global merupakan strategi yang sudah diterapkannya sejak lama. Pengakuan Perkins (2004), seorang profesional yang bekerja untuk sebuah perusahaan multilateral AS, dalam bukunya yang menghebohkan, Confessions of an Economic Hit Man (EHM), semakin menggambarkan bagaimana intervensi Negara maju, dalam hal ini Amerika Serikat, melalui perusahaan trans-nasionalnya untuk mengeksploitasi dan menciptakan ketergantungan Negara Berkembang pada AS. Dilukiskannya bagaimana peran seorang EHM yang dibayar dengan gaji sangat tinggi untuk menjalankan misi yang disebutnya sebagai bagian dari faham corporatocracy:
• “… They funnel money from the World Bank, the US Agency for International Development (USAID), and other foreign “aid” organizations into the coffers of huge corporations and the pockets of a few wealthy families who control the planet’s natural resources. Their tools include fraudulent financial reports, rigged elections, payoffs, extortion, sex, and murder. They play a game as old as empire, but one that has taken on new and terrifying dimensions during this time of globalization” (Perkins, 2004: ix).
• Menurut Perkins (2004: 25), ia diberi keleluasaan demi menciptakan ketergantungan dan mendapatkan kekayaan di negara tempatnya bertugas. Hal ini juga terjadi ketika ia ditugaskan ke Indonesia lewat perusahaan Chase T. Main Inc (MAIN) untuk pengembangan kelistrikan di Indonesia dan diberi “pengarahan” oleh seorang project manager-nya sbb:
• “We all know how dependent our own country is on oil. Indonesia can be a powerful ally to us in that regard. So, as you develop this master plan, please do everything you can to make sure that the oil industry and all the others that serve it – ports, pipelines, construction companies – get whatever they are likely to need in the way of electricity for the entire duration of this twenty five year plan”.
• Tekanan Ideologi Neoliberalis dan Penerimaan Pemerintah Indonesia
• Tentu saja globalisasi ekonomi juga memberikan manfaat bagi penduduk dunia, seperti meningkatnya output dunia, dan semakin banyaknya tawaran komoditi yang berkualitas dengan harga yang relatif rendah. Perkembangan peradaban manusia juga mencapai titik yang tidak terbayangkan selama ini. Namun, menurut Gelinas (sebagaimana dikutip Sofian Effendi, 2004: 13) kemajuan tersebut diiringi pula dengan tragedi kemanusiaan seperti: (1) 4 sampai 6 miliar penduduk di 127 negara terbelakang hidup dalam kondisi kemiskinan yang berat; (2) 49 negara paling terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan; (3) pendapatan per kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalami penurunan dari keadaan 10, 15, 20, dan bahkan 30 tahun yang lalu; (4) 2,8 miliar penduduk di Negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari; (5) 1,3 miliar penduduk di negara-negara yang sama bahkan hidup dengan tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS; (6) 2,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur yang memadai; dan 6) 1,4 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersh.
• Demikianlah, era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang terjadi saat ini adalah suatu grand design dari negara-negara kaya bersama kapitalisme global, yang menggunakan kekuatannya sendiri atau melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan global yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan bahasa yang “keras’ Swasono (2005: 1) melukiskan globalisasi yang terjadi saat ini sebagai “faham liberalisme baru untuk menjadi topengnya pasar bebas, yang justru mengabaikan cita-cita globalisme ramah untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan mondial”. Nada yang sama juga dikemukakan Mubyarto (2005: 6) yang secara tegas menolak praktik globalisasi. “.... karena dalam sifatnya yang ada sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia”.
• Kekhawatiran nafsu imperialistik yang serakah sebenarnya sudah muncul sejak lama. Bung Karno dalam Pidato Pembelaannya di depan Pengadlan (landraad) Bandung Agustus 1930 menyatakan:
• “Sebagai yang tadi kami katakan, imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa ‘perluasan negeri daerah dengan kekuasaan senjata’ seperti yang diartikan oleh van Kol, tetapi bisa juga berjalan hanya dengan ‘putar lidah’atau cara ‘halus-halusan saja’, bisa juga dengan cara penetration pacifique (Soekarno, dalam Mubyarto, 2004: 17)
• Kita dapat melihat bagaimana peran besar negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia dalam upaya pembentukan APEC akhir 1980-an dan kemudian menggiringnya kepada liberalisasi ekonomi yang dideklarasikan dalam APEC Economic Leaders Meeting atau dikenal juga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC ke- 2 di Bogor tahun 1994. KTT itu pula yang menjadi turning point bagi sikap Indonesia dalam hubungan ekonomi internasionalnya, karena tanpa segan-segan Indonesia “menerapkan” berbagai kebijakan yang sebelumnya dianggap masih “tabu”, yang terkait dengan liberalisasi perdagangan dan investasi. Secara mengejutkan Presiden Soeharto (waktu itu) mengatakan dengan ucapan yang sangat terkenal yang substansinya adalah: “suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita harus menerima dan menghadapi perdagangan bebas dunia”, yang menggambarkan bahwa Indonesia sudah membuka diri dan meliberalkan perekonomiannya. Hal itu dilakukan karena terpesona janji-janji globalisasi ekonomi yang akan membawa peningkatan kesejahteraan dunia serta tekanan-tekanan melalui berbagai forum global oleh negara maju dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti Bank Dunia, WTO, dan IMF. Ketiga lembaga tersebut, yang oleh Richard Peet disebut sebagai “Tritunggal Brengsek” (Unholy Trinity) sangat berperan dalam mempercepat proses globalisasi ekonomi.
• Untuk mengintegrasikan perekonomian global itu, melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan dunia, dibuatlah aturan yang seragam, norma-norma yang standar, hukum ekonomi yang baku, dan berbagai ketentuan umum yang terkait dengan hubungan ekonomi internasional. Berbagai ketentuan itu umumnya diadopsi dari apa yang sudah berlaku dan menjadi kebiasaan di negara-negara industri yang berbasis ideologi ekonomi liberal-kapitalis. Melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan internasional, disusun berbagai “kesepakatan” global yang tidak selalu cocok dan menguntungkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, muncul berbagai benturan yang tidak jarang menimbulkan kegagalan dalam forum-forum dan dialog internasional seperti yang terjadi di Cancun, Meksiko, pada bulan September 2003. Hal ini kemudian melahirkan kecurigaan terhadap adanya kepentingan yang bercokol (vested interest) dan pemaksaan kehendak untuk mewujudkan globalisasi ekonomi. Arah globalisasi ekonomi ternyata tidak banyak berubah sejak lima abad lalu sampai sekarang: menjadi alat kepentingan negara-negara adikuasa ekonomi untuk memperoleh manfaat ekonomi yang besar dari menyatunya ekonomi dunia tersebut.
• Dengan kepentingan yang demikian, maka tidak mengherankan kalau kebijakan yang diterapkan di negara-negara maju tersebut – demi melindungi kepentingan nasionalnya -- acapkali bertentangan dengan prinsip globalisasi yang dikembangkannya.[12] Misalnya, sikap Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat yang sangat kokoh melindungi para petani dan peternaknya dengan kebijakan subsidi yang sangat besar. Adalah tidak aneh pula negara-negara industri yang selalu menyerukan privatisasi dan pengurangan campur tangan pemerintah dalam perekonomian, ternyata menunjukkan hal yang bertolak belakang. Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB di negara-negara industri justru semakin meningkat dari waktu ke waktu. Mengutip studi Tanzi dan Schuknecht (1995), Rodrik (1997: 50) menunjukkan rata-rata pengeluaran pemerintah di negara industri meningkat dari 20,7% dari PDB pada tahun 1937, menjadi 28,5% tahun 1960, dan meningkat lagi menjadi 42,6% tahun 1980 dan 47,2% tahun 1994 (Lampiran). Hal yang sebaliknya terjadi dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang porsi anggaran pemerintahnya cenderung semakin menurun terhadap GDP-nya (Baswir, 2005a). Data ini dapat ditafsirkan sebagai proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, dalam bentuk pengkerdilan peran negara dan peningkatan peranan pasar sehingga memudahkan pengintegrasian serta pengendalian perekonomian negara-negara miskin tersebut dibawah penguasaan pemodal negara-negara kaya (Baswir, 2005b: 15).
• Sikap Negara-negara di Dunia terhadap Globalisasi Ekonomi
• Bagaimanakah negara-negara di dunia menyikapi globalisasi ekonomi yang berjalan seperti sekarang ini? Menurut Pieterse (2001: 123) negara-negara maju dan berkembang saat ini menyikapi globalisasi dengan dua pandangan. Pertama, menerima globalisasi sebagai strategi pembangunannya. Slogan yang banyak digunakan negara pendukung globalisasi ini adalah :”If you can’t fight globalization, you may as well joint it”. Slogan seperti ini tampaknya juga berhasil mempengaruhi sebagian pemikir ekonomi Indonesia, yang “pasrah” terhadap tekanan globalisasi dan kemudian memilih untuk “bergabung” dengan proses globalisasi yang berjalan sangat cepat tersebut. “If you can not beat them, joint them,” ungkapan yang juga sering dikutip sementara ekonomi kita. Kedua, menolak globalisasi dan liberalisasi ekonom. Ini banyak dilakukan negara-negara Dunia Ketiga yang secara terbuka mencoba menolak kebijakan-kebijakan dari lembaga--lembaga internasional, khususnya yang terkait dengan kebijakan perubahan struktural dan penggintegrasian yang dipaksakan. Namun demikian, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara kreditor Barat selalu mencoba melemahkan pemerintahan dunia ketiga yang mempunyai sikap seperti ini. Hal demikian bisa terjadi sebagai akibat tingginya ketergantungan negara Dunia Ketiga tersebut pada Bank Dunia dan negara-negara kreditor tersebut.
Perkembangan saat ini bukan hanya rakyat negara berkembang seperti Indonesia yang mendesak untuk meninjau ulang globalisasi dalam berbagai bentuknya, melainkan juga rakyat dari negara-negara maju. Sebagai ilustrasi, tepat dua bulan lalu – 7 Maret 2005 -- saya bersama rekan Dr. Suparwoko yang baru beberapa puluh meter keluar dari perpustakaan Balleu di University of Melbourne dicegat aktivis di lingkungan kampus perguruan tinggi terkemuka di Australia itu. Ia “memprovokasi” kami dengan berbagai pernyataan, dan kemudian meminta kami menandatangani dan mendukung petisi yang sudah disiapkannya. Petisi tersebut berupa penolakan terhadap terjadinya arus globalisasi ekonomi yang dianggap banyak merugikan warga Australia dan masyarakat dunia lainnya. Mereka mendesak parlemen Australia agar pemerintah Australia berpartisipasi mewujudkan sistem moneter dunia yang baru yang dikenal dengan sebutan The New Bretton Woods International Monetary System sebagaimana yang diusulkan oleh Lyndon H. LaRouche. Isi petisi tersebut antara lain :
• “.... Except for handful of the very wealthy, the globalization policies of free trade, floating exchange rate, privatisation, competition policy, etc. have been a disaster for virtually Australians, including local governments bodies, trade union, Aborigines, ethnic groups, immigrants, students and teachers, healthcare providers, the rural sector, small business, the poor, the unemployed, the aged and disabled, and many other average, strugling Australians. Outside Australia, globalization has produced a severe international economic crisis, with potential dire consequences for Australia”.
• Globalisasi ekonomi merupakan kebijakan global yang sekarang banyak menuai pro-kontra di berbagai belahan dunia. Situasi satu dekade terakhir ini memang berbeda dengan awal 1990-an ketika orang begitu bersemangat menyambut era globalisasi, khususnya globalisasi ekonomi. Globalisasi dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan ekonomi dunia. Kenyataannya, setelah berbagai langkah dan kebijakan yang dianggap dapat mewujudkan globalisasi ekonomi dilaksanakan, dampak positif yang dijanjikan tidak terjadi. Kesalingterkaitan dan berbagai manfaat yang diharapkan muncul dari globalisasi ternyata tidak terjadi. Globalisasi kemudian menjadi ajang pertarungan antara pihak yang kuat, setengah kuat, lemah, serta yang paling lemah (Jhamtani, 2000: 1). Akibatnya, di samping masih banyak yang tetap optimistik dan skeptis, di penghujung tahun 1990-an gelombang aksi menentang globalisasi dengan berbagai bentuknya muncul di forum-forum dunia. Setiap momen pertemuan besar yang didakan lembaga-lembaga seperti WTO (World Trade Organization), WEF (World Economic Forum) atau Forum Ekonomi Dunia (FED), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), yang terkait dengan implementasi globalisasi selalu dibarengi dengan aksi-aksi penolakan yang tidak jarang menimbulkan korban.
• Pertemuan Tingkat Menteri (KTM) WTO yang ke-3 di Seattle (Amerika Serikat) tahun 1999, seperti halnya KTM ke-2 di Geneva (1998), dibarengi dengan aksi demonstran yang menjadi titik tolak gerakan anti globalisasi yang sistematis. Terjadinya ketidakmerataan global, rusaknya lingkungan, dan munculnya masalah-masalah yang terkait dengan kapitalisme global, merupakan faktor-faktor yang melahirkan gelombang demonstrasi tersebut (Gilpin, 2000: xx). Aksi demo di Seattle ini menandai dimulainya penolakan globalisasi ekonomi lewat berbagai aksi yang berskala global pula. Sejak itulah berbagai aksi besar-besaran, yang terkoordinir secara rapi dengan keterlibatan elemen dari banyak negara, menjadi hal yang biasa mengiringi forum-forum pertemuan global yang diadakan WTO, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), ataupun World Economic Forum (WEF). Wadah-wadah yang menentang gerakan globalisasi juga bermunculan. WEF, misalnya, mendapat tandingan dari Social Economic Forum (SEF) yang dilihat dari pesertanya jauh lebih besar dari WEF. Teknologi informasi melalui jaringan maya dimanfaatkan secara optimal oleh gerakan antiglobalisasi yang berlangsung saat ini. Sehingga tidak mengherankan suatu kegiatan demontrasi yang terjadi di belahan bumi Utara dibarengi kegiatan demo dengan tema sama di sebuah daerah-daerah negara Selatan.Dilukiskan The International Forum on Globalization (2002: 2).
• “... Over the past decade, millions people have taken to the streets in India, the Philippines, Indonesia, Brazil, Bolivia, the United States, Canada, Mexico, Argentina, Venezuela, France, Germany, Italy, the Czech Republic, Spain, Sweden, the United Kingdom, New Zealand, Australia, Kenya, Sotuth Africa, Thaland, Malaysia, and elsewhere, in massive demonstrations against the institutions and policies of corporate globalization...”
• Di Amerika Serikat, negara yang banyak mendapatkan manfaat dari globalisasi ekonomi, juga muncul ketidapuasan di dalam negerinya sebagai dampak dari privatisasi dan globalisasi tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh studi dari Wypijewski (1997:17-25) yang menyimpulkan:
• “Privatization, globalization, a corporate system that rewards the average CEO at a rate 173 times the wage of the average employee (in real terms, executive pay is up about 300 percent since 1980, workers’ wage down 12 percent); the explosion in temporary work, part time work, low-wage work; the ascendance of workfare, of prison labor; the assaults on immigrants and poor people, of unions, currently losing 150,000 souls each year”
• Adanya aksi dan ketidakpuasan yang demikian mengandung pesan kepada kita, Bangsa Indonesia, untuk tidak latah dan gegabah menerima begitu saja proses globalisasi ekonomi untuk (dipaksakan) terus berlangsung. Petisi, aksi, dan data yang disampaikan oleh warga dari negara maju tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa mereka pun banyak dirugikan dengan praktik globalisasi ekonomi sehingga mereka menentang kecenderungan keras dari jalannya globalisasi ini. Dengan demikian, globalisasi lebih menguntungkan para industrialis dan para elit ekonomi di negara maju dan segelintir negara berkembang. Atau, dalam terminologi Richard Falk (1997), globalisasi yang terjadi saat ini merupakan globalisasi yang “dituntun dari atas” (globalization-from-above), yang merupakan kolaborasi antara negara maju dengan para agen utamanya untuk penumpukan kapital.
• Dapat dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia menghadapi proses dan kecenderungan globalisasi ekonomi tersebut. Sebagian masyarakat di negara maju yang relatif “established” pun merasa menjadi korban globalisasi ekonomi. Dapat diduga bahwa sebagian besar masyarakat negara berkembang, yang masih hidup dalam kemiskinan, akan menderita lebih parah. Hal inilah yang dilihat oleh banyak organisasi swadaya masyarakat dunia yang kemudian bergabung dalam komunitas World Social Forum (FSD). Melalui lembaga ini digemakan suara dari global silent majority yang menjadi korban praktik globalisasi ekonomi. Walaupun masih sering terjadi kontradiksi tentang sikap tegas lembaga ini apakah benar-benar tidak setuju terhadap konsep globalisasi ekonomi,[13] namun yang jelas berbagai elemen komunitas dunia ini menuntut koreksi jalannya globalisasi ekonomi yang saat ini “dikendalikan” trio lembaga global: WTO, IMF, dan Bank Dunia.
• Janji teori yang tidak mewujud
• Para hadirin yang saya hormati,
• Satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah: mengapa setelah cukup jauh berjalan baru muncul penolakan frontal atas globalisasi tersebut? Mengapa pada waktu lalu kita, Bangsa Indonesia, sangat “permisif” atas globalisasi ini, yang tercermin dari pandangan pimpinan nasional kita, yang seakan menjadi “fatwa” bagi semua jalur birokrasi untuk menerima globalisasi atau liberalisasi ekonomi? Hal ini agaknya terkait dengan janji-janji manfaat globalisasi, di samping adanya tekanan untuk menerimanya dari kekuatan ekonomi negara maju.
• Secara teoritik globalisasi ekonomi memang menjanjikan manfaat yang sangat menggiurkan: meningkatnya kesejahteraan masyarakat dunia. Dengan penghapusan berbagai rintangan dalam hubungan ekonomi internasional akan mendorong peningkatan efisiensi dan produksi barang dan jasa. Spesialisasi ekonomi terjadi. Perdagangan dan investasi meningkat, teknologi produksi berkembang, yang kesemuanya mengarahkan pada peningkatan output dunia, yang berarti kesejahteraan dunia secara total juga meningkat (Lihat misalnya El-Agraa, 1988: 10). Oleh karena itu, berbagai hambatan perdagangan, baik itu yang berupa tarif yang tinggi maupun yang bukan tarif harus diminimalkan, bahkan dihilangkan. Melalui WTO dan berbagai lembaga-lembaga internasional hal itu selalu menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Kebebasan ekonomi dunia dianggap sebagai suatu the best solution theory untuk meningkatkan output dunia. Dalam terminologi ekonomi, kebebasan ekonomi tersebut akan mewujudkan apa yang disebut sebagai Optimalitas Pareto (Pareto Optimality) Jadi, dilihat dari logika yang demikian, globalisasi ekonomi mengandung misi dan tujuan sangat mulia.
• “Provokasi” yang didukung dengan konsep teori itu sangat gencar pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pada masa itu arus pemikiran tentang globalisasi ekonomi mewarnai hampir seluruh dunia. Terminologi yang berkaitan dengan globalisasi ini, seperti negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, integrasi ekonomi global dan semacamnya menjadi semacam dogma yang diyakini akan membawa dunia pada kemajuan ekonomi, menghapuskan kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan antarnegara. Upaya ke arah globalisasi ini sangat didukung negara-negara adikuasa ekonomi, yang memang pola perdagangannya sudah terbiasa dengan liberalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi dalam skala terbatas (atau disebut regionaliasi ekonomi) yang sering dianggap sebagai kisah sukses adalah integrasi ekonomi negara-negara Eropa Barat yang kini tergabung dalam Uni Eropa. Oleh karena itu, banyak negara yang “berlatih” untuk mempersiapkan diri ke arah globalisasi ekonomi melalui intergasi ekonomi regional. Dalam kawasan Asia Pasifik di bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dimotori negara-negara seperti Australia, Amerika, dan Kanada. Kemudian GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1995 melalui forum Putaran Uruguay diperluas menjadi GATS yang meliberalkan lalulintas jasa, dan dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). WTO didasari pada asumsi bahwa perdagangan bebas dunia akan meningkatkan output dunia.
• Berbagai perangkat organisasi ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan pewujudan globalisasi untuk mengangkat kemakmuran dunia. Para pendukung globalisasi ekonomi sangat yakin bahwa globalisasi menjanjikan terjadinya peningkatan kemakmuran dunia dan kerja sama internasional. Oleh karena itu mereka menyatakan tidak diperbolehkan adanya rintangan yang dapat menghambat lalulintas barang, jasa, dan kapital (Gilpin, 2002: 293). Padahal, pemikiran untuk meliberalisasikan perdagangan dunia tersebut mempunyai prasyarat bahwa pelaku-pelaku yang akan mengintegrasikan ekonominya harus mempunyai kekuatan seimbang. Prakondisi inilah yang tidak terpenuhi, kekuatan ekonomi antarnegara masih sangat timpang, sehingga praktik globalisasi ekonomi belum bisa dilakukan. Kalaupun ingin dilaksanakan hal ini terbatas pada negara-negara yang relatif seimbang, yang biasanya terbatas pada kawasan tertentu, yang dalam konsep teori disebut sebagai regional economic integration. Integrasi ekonomi regional seperti pembentukan perserikatan pabean (customs union) dianggap sebagai the theory of the second best karena prakondisi untuk mewujudkan the first best policy tidak bisa terpenuhi (lihal misalnya Chacholiades, 1988: 544-545),
• Dengan persaingan yang bebas, pelaku-pelaku ekonomi lemah yang umumnya dari negara berkembang akan tersingkir. Mereka kalah bersaing dari unit-unit usaha raksasa yang bermodal besar dan berteknologi canggih. Gambaran ini bisa dilihat dari tingkat daya saing yang rendah dari negara berkembang umumnya sebagaimana data yang setiap tahun dipublikasikan oleh International Institute for Management Development.[14] Dari sekitar 50-an negara yang disurveinya, hampir selalu Indonesia menempati peringkat paling bawah.
• Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, di penghujung tahun 1990-an gerakan anti-globalisasi mulai menguat. Globalisasi digugat banyak negara dan elemen masyarakat. Impian untuk percepatan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemelaratan ternyata tidak mewujud. Situasi yang ada justru melahirkan keadaan sebaliknya, dan ketimpangan negara kaya-miskin malah dinilai semakin membesar. Perusahaan besar dan negara kaya mengambil untung lebih besar dari globalisasi ekonomi tersebut. Diperkirakan 25% perdagangan dunia berlangsung dalam perusahaan global atau intra-company trade. Porsi yang sama juga terjadi antara negara maju yang tergabung dalam European Community (EC) dan NAFTA. Hanya sebagian kecil dari perdagangan dunia ini yang bisa dinikmati negara-negara berkembang. Hal yang sama juga terjadi dalam liberalisasi finansial, yang dikendalikan oleh lembaga keuangan internasional yang dikomando negara-negara adikuasa ekonomi dan pemilik modal di pasar uang dunia. Berbagai kritik mengenai globalisasi bermunculan. Para penentang globalisasi khawatir peningkatan perdagangan, investasi asing, dan lalulintas modal akan menimbulkan berbagai efek negatif bagi masyarakat, khususnya di negara berkembang. Banyak yang membayangkan globalisasi ekonomi sebagai kemenangan sistem kapitalis yang kejam yang ditandai dengan adanya eksploitasi, dominasi, dan meningkatnya ketidakmerataan dalam dan antarnegara (Gilpin, 2002: 293).
• Awal tahun 2004 lalu, misalnya, gugatan sudah muncul dalam tiga forum internasional. Gugatan terhadap globalisasi dan perangkatnya itu tidak hanya dari negara bekembang, melainkan juga oleh negara yang berpendapatan menengah atas seperti negara-negara Amerika Latin. Forum pertemuan negara-negara Benua Amerika pada tanggal 12-13 Januari 2004 melahirkan kecaman keras pada liberalisasi perdagangan yang dinilai hanya menguntungkan negara kaya. Presiden Venezuela Hugo Chavez, misalnya, menilai perdagangan bebas telah memperlebar kesenjangan antara negara kaya dan miskin dan menciptakan ketidakadilan. Kecaman ini cukup beralasan karena kantong kemiskinan di Benua Amerika banyak ditemui di Amerika Latin.
• Pada konferensi internasional Kamar Dagang Dunia yang diadakan di Dhaka 18 Januari tahun lalu juga muncul kecaman terhadap perdagangan bebas yang dikomandoi oleh WTO. Dalam forum tersebut Menperindag Indonesia (waktu itu), Rini Soewandi, mengecam berbagai ketentuan yang ada dalam WTO yang dinilai tidak fair dan lebih menguntungkan negara-negara maju. Oleh karena itu ia menyarankan perlunya perombakan badan dunia tersebut. Kecaman yang paling “dahsyat” memang datang dari Forum Sosial Dunia ke-4 yang bertemu 16-21 Januari 2004 di Mumbay India. Forum yang dianggap sebagai kelompok terbesar antiglobalisasi ini menyerang pola globalisasi yang terlalu diarahkan untuk kepentingan negara besar dan kapitalis dunia. Aksi FSD yang diikuti sekitar 100 ribu peserta ini tidak hanya sebatas kecaman, melainkan juga pemboikotan terhadap produk-produk multinasional yang dianggap mematikan produk lokal. Suara menentang globalisasi ekonomi tersebut bukan saja dari negara-negara yang dirugikan, melainkan juga dari masyarakat global, yang melibatkan LSM-LSM dan aktivis kemanusiaan yang memiliki jaringan di seluruh dunia. Oleh karena itu dengan mudah mobilisasi massa terjadi dalam setiap event menentang globalisasi ini. Gerakan-gerakan tersebut, berkat teknologi informasi, pada saat bersamaan bisa terjadi di seantero dunia.
• Kecaman terhadap Globalisasi
• Kecaman terhadap globalisasi dengan segala aspeknya saat ini juga muncul dari kalangan ilmuwan. Banyak pemikir yang menggugat kecenderungan ekonomi dunia yang diarahkan pada liberalisasi tersebut. Liberalisasi finansial yang dipasarkan IMF, misalnya, telah mendapat kecaman keras dari ekonom dunia Joseph E Stiglitz (2002). Berbagai saran IMF terhadap negara berkembang banyak yang keliru dan tidak terap untuk negara berkembang tersebut. Ia mengritik IMF melakukan kekeliruan karena menerapkan pasar bebas untuk suatu negara yang struktur informasi, struktur pasar, serta infrastruktur kelembagaannya yang belum lengkap.
• Dalam bukunya “The No-nonsense Guide to Globalization” (2001) yang dikutip di atas, Wayne Ellwood, tidak hanya mengecam globalisasi yang dinilainya telah meningkatkan ketidakmerataan dan kemiskinan di seluruh dunia, serta membuat pemerintah kehilangan kemampuannya untuk mengontrol stretegi dan kebijakan pembangunan. Ia juga memberikan saran yang konstruktif dan kongkret untuk mengatasi hal tersebut. Langkah-langkah tersebut antara lain (108-136) adalah: (1) meningkatkan partisipasi warga negara melalui perombakan IMF. Rekomendasi ini diberikan karena sistem finansial global hanya dijalankan birokrat, bankir, dan ekonom arus utama, yang keputusannya berpengaruh pada kehidupan masyarakat luas yang tidak pernah diajak berkonsultasi; (2) mendirikan lembaga keuangan global yang baru. Lembaga sepert Bank Sentral Global dibutuhkan untuk membuat berbagai ketentuan baru yang bisa menghindari gejolak dan ketidakefisienan di pasar keuangan dunia; (3) Menjaga lingkungan alam semesta (honor the earth). Standar lingkungan global harus ditetapkan oleh lembaga baru dengan mandat PBB. Standar ini harus didasarkan pada keberlanjutan, pemerataan, dan keadilan, dan ini harus diterapkan dalam setiap perjanjian perdagangan dan investasi.
• Beberapa rekomendasi di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mengendalikan dampak globalisasi yang kini berjalan tidak sederhana. Hal ini terjadi karena upaya tersebut sama dengan melawan kemapanan negara-negara maju yang sulit untuk mendukung aksi yang dapat mengurangi keuntungannya dari pola hubugan ekonomi dunia yang ada saat ini. Oleh karena itu diperlukan gerakan membangun kesadaran dunia, seperti yang dilalukan FSD/WSF yang selama seminggu melakukan pertemuan, dan pada saat yang sama melakukan aksi dengan berhenti mengkonsumsi produk globalisasi.
• Demikianlah, globalisasi yang arahnya dianggap menguntungkan pemodal kuat sering disamakan dengan kapitalisme global atau bentuk dari neoliberalisme – yang oleh Mas’oed, 2002: 5) sebagai “ideologi ekonomi-politik neo-klasik yang ditaruh dalam kemasan dan label baru” --, telah memunculkan penolakan pada cara-cara kapitalisme-liberalisme tersebut. Namun demikian perlu disampaikan di sini bahwa gerakan penolakan pada kapitalisme global ini tidak sepenuhnya seragam. Alex Callinicos dalam bukunya “An Anti-Capitalist Manifesto” (2003) menyatakan gerakan antikapitalis jauh dari suatu gerakan yang secara ideologis homogen. Kelompok borjuis anti-kapitalis dapat menerima pandangan neo-liberal bahwa kapitalisme menawarkan solusi pada masalah kemanusiaan (humankind), namun mengritik faham tersebut untuk lebih responsif atas kritik berkaitan dengan pewujudan masyarakat madani. Sementara itu gerakan global anti-kapitalis menuntut pengembangan hubungan mikro di antara produsen dan konsumen yang dapat mendukung keadilan sosial dan kemandirian ekonomi, karenanya pasar harus diarahkan untu tujuan tersebut. Sedangkan gerakan reformis anti kapitalis menuntut adanya pengaturan pada kapitalisme seperti pasca perang dunia. Di sisi lain, gerakan sosialis anti kapitalis menyatakan hanya satu alternatif bagi kapitalisme untuk konsisten dengan modernisasi, yakni ekonomi perencanan yang demokratis (Calinicos, 104-105).
• Penutup: Sikap Indonesia Mengantisipasi Globalisasi
• Setelah panjang lebar diuraikan tentang berbagai pandangan yang kini mulai mempertanyakan arah globalisasi ekonomi, maka muncul pertanyaan pragmatis tentang bagaimana kita menyikapi globalisasi ekonomi ini. Haruskah kita larut dalam arus yang dikendalikan kapitalisme global dan negara-negara tertentu untuk menentukan ke arah mana perekonomian akan dibawa? Jika tidak, langkah apa yang perlu dilakukan?
• Jawabannya sangat jelas, kita tidak seharusnya menerima begitu saja praktik globalisasi ekonomi yang melahirkan hegemoni negara maju atas atas negara berkembang, dan hegemoni usaha besar atas usaha kecil. Pandangan saya ini tidak perlu diartikan bahwa saya menolak gagasan globalisasi ekonomi. Saya tetap setuju adanya globalisasi ekonomi, sepanjang itu diartikan sebagai adanya keterbukaan ekonomi untuk melaksanakan transkasi ekonomi secara adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Yang perlu ditolak adalah globalisasi dalam proses dan wajahnya seperti sekarang, sebagaimana yang diuraikan di muka.
• Namun demikian kita juga perlu bersikap realistik. Kita tidak bisa menafikan proses globalisasi tersebut yang sedang berjalan. Adalah mustahil, walaupun kita menolak proses ini, untuk terus membangun dengan mengisolasi diri dari interaksi ekonomi global. Oleh karena itu, proses yang terjadi perlu disikapi secara realistis dengan terus-menerus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional untuk bekerja sama dan bersaing secara jujur dan adil dengan negara lainnya. Ini penting untuk mengamankan neraca pembayaran kita, terutama transaksi berjalan (current account) yang saat ini masih surplus namun berpotensi sangat besar untuk berbalik menjadi defisit (lihat misalnya Soesastro, 2003). Untuk itu, pemerintah dengan mengajak negara-negara lain yang mempunyai sikap sama, harus mempunyai sikap tegas untuk menolak tekanan dan pemaksaan prinsip hubungan ekonomi yang tidak adil dan merugikan kepentingan nasional, yang dilakukan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan global. Delegasi yang mewakili Indonesia di berbagai forum lembaga ekonomi-keuangan internasional harus berpegang teguh pada pendirian untuk menghasilkan rumusan-rumusan kerja sama ekonomi global yang adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Keharusan membuka pasar secara semena-mena tanpa melihat kemampuan produsen dalam negeri, misalnya, merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima.
• Bagi kita umat Islam, yang merupakan bagian terbesar Bangsa Indonesia sikap seperti ini sejalan dengan firman Allah (Al Hujarat: 13) yang menyuratkan bahwa “... Allah menjadikan umat manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku untuk saling mengenal”. Ayat ini menegaskan bahwa Islam menganjurkan kerja sama antarumat manusia, melakukan interaksi dan transaksi, namun tanpa menghilangkan keragaman yang ada, termasuk memaksakan ideologi tunggal dalam kehidupan ekonomi. Perbedaan memang sudah merupakan sunatullah sebagai tercermin dari petikan ayat Al-Qur’an tersebut yang eksplisit menyebutkan eksistensi keberagaman suku dan bangsa.
• Berdasarkan itu pula, kita perlu terus mencermati kecenderungan globalisasi ekonomi yang terjadi dewasa ini. Dari praktik globalisasi ekonomi selama ini, tidak bisa dihindarkan bahwa terminologi itu sangat seiring dengan “liberalisasi yang dipaksakan”, sebuah bentuk neoliberalisme. Dalam bentuknya yang demikian, globalisasi menjadi alat bagi negara yang kuat secara ekonomi untuk memaksakan ideologi ekonominya kepada negara-negara lainnya. Dengan proses globalisasiseperti itu, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga ekonomi dunia yang dirancang mendukung kebijakannya, maka keuntungan terus mengalir ke negara-negara maju. Dalam banyak kasus memang bisa saja dijumpai hubungan ekonomi yang menghasilkan situasi sama-sama untung, “gain-gain situation”. Hanya saja keuntungan terbesar tetap saja dinikmati negara negara industri yang sudah terbiasa dengan praktik persaingan bebas dan pola-pola liberal dalam perekonomiannya sebagai derivasi dari ideologi dan falsafah hidupnya. Globalisasi ekonomi penuh dengan muatan ideologis liberal-kapitalis,[15] dan dalam wajahnya yang sekarang merupakan derivasi dari ideologi tersebut. Globalisasi yang demikianlah yang menurut pandangan saya perlu ditolak. Menjadi sangat naif jika kita berbicara mengenai globalisasi yang sarat dengan muatan ideologis tersebut melepaskannya dari ideologi bangsa kita, ideologi Pancasila. Oleh karena itu, kita perlu melihat praktik globalisasi ekonomi ini dari sudut pandang ideologi bangsa.
• Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila maka seyogianya pula bagi kita dalam praktik-praktik ekonomi keseharian didasarkan pada norma-norma yang terkandung dalam falsafah bangsa tersebut. Bagaimana menerapkan prilaku ekonomi kita yang berketuhanan, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan, dan berkeadilan sosial. Praktik dan arah globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini sangat jauh dari norma-norma ideologis Bangsa Indonesia. Adalah tidak manusiawi jika globalisasi ekonomi harus mengorbankan para petani dalam negeri, tempat sebagian besar angkatan kerja kita ditampung[16]. Atau harus mengakibatkan para buruh kehilangan pekerjaan, harga komoditi strategis ditentukan asing, dan kedaulatan ekonomi bangsa berada di tangan negara lain atau lembaga internasonal. Namun hal demikianlah yang terjadi, praktik globalisasi yang dikendalikan tiga institusi dunia yang membawa misi negara maju dan korporasi global.
• Tentu menjadi naif jika kita sebagai bangsa yang sedang bekembang yang jumlah pengangguran terbuka masih sangat banyak dan kemiskinan yang masih meluas[17], dengan tingkat daya saing (competitiveness) rendah, justru ikut menyokong praktik globalisas ekonomi yang memberikan kontribusi pada ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dunia. Oleh karena itu, kita perlu membentengi ekonomi kita dengan suatu sistem ekonomi yang bertumpu pada ideologi bangsa, berdasarkan nilai-nilai yang hidup yang berkembang di bumi pertiwi ini, yakni Sistem Ekonomi Pancasila yang sejak lebih dari dua dasawarsa lalu terus disuarakan oleh Prof. Dr. Mubyarto, yang kini terus menggali, mencari, dan menemukan kebijakan-kebijakan alternatif untuk menyejahterakan rakyat, menanggulangi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan ekonomi berdasarkan etika Pancasila melalui wadah Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) Universitas Gadjah Mada[18].
• Tantangan untuk menghadapi praktik globalisasi ekonomi yang serakah ini memang sangat berat bagi Bangsa Indonesia. Ini dilukiskan dengan baik oleh Prof. Mubyarto:
• “ .... Tantangan ini tidak makin bertambah ringan, karena ada kecenderungan berkembangnya semangat individualisme sebagai akibat merebaknya pengaruh faham kapitalisme-liberalisme (atau bahkan neoliberalisme). Dengan munculnya kelompok pengusaha nasonal yang menganut faham kapitalisme global, rupanya muncul semangat ‘keserakahan’ baru yang kepentingannya bertentangan dengan kepentingan ekonomi rakyat” (Mubyarto, ed., 2005:ix).
• Agenda apa yang harus dilakukan untuk menyikapi globalisasi ini? Untuk maksud tersebut, saya ingin “meminjam” langkah dan ajakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Mohtar Mas’oed (2005), yakni kita harus melakukan (a) agenda aksi atau advokasi, dan (b) agenda penelitian. Agenda aksi yang dimaksud di sini adalah sikap tegas berbagai elemen masyarakat dan pemerintah untuk menolak tekanan-tekanan ideologi ekonomi liberal yang bertameng globalisasi yang merugikan kepentingan nasional. Sikap peserta Forum Sosial Dunia yang secara tegas menolak produk korporasi global yang bermasalah merupakan contoh yang bisa dikedepankan dalam melawan praktik globalisasi yang dipaksakan melalui kesepakatan institusi ekonomi-keuangan dunia. Dan tentu saja, sebagai akademisi, agenda penelitian dan pengkajian merupakan suatu keharusan untuk menjawab permasalahan globalisasi ekonomi yang kita hadapi saat ini.
• Agenda yang demikian mau tidak mau membawa kita pada persoalan yang terkait dengan ideologi ekonomi yang kita pegang untuk menemukan sistem ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Agenda pengkajian dan perumusan sistem ekonomi yang berbeda dengan ekonomi arus utama (main stream economics) ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Munculnya pandangan dan konsep ekonomi kelembagaan, ekonomi strukturalis, ataupun Sistem Ekonomi Islam dan Sistem Ekonomi Pancasila, tidak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan terhadap adanya “pemaksaan ideologi ekonomi tunggal” yang dikemas lewat globalisasi ekonomi. Perkembangan yang lebih maju yang bisa dikaitkan dengan pencarian teori ekonomi alternatif ini bahkan terjadi di Universitas Harvard. Di perguruan tinggi yang sangat prestisius di dunia ini, telah ditawarkan mata kuliah pengantar ekonomi alternatif yang diajar oleh Prof Martien Feldstein, mantan penasihat ekonomi semasa Presiden AS Ronald Reagan. Menurut mingguan The Economist (10 Mei 2003), asumsi dasar pengajaran ini sangat berbeda dengan yang diajarkan ekonom neo-klasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, ekonom ini menolak konsep homo-ekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak rasional. Ini merupakan serangan yang mendasar pada ajaran ekonomi konvensional. yang jika konsepnya diterima, maka dampaknya akan sangat luas bagi pengajaran ilmu ekonomi yang saat ini berbasiskan teori ekonomi neo-klasik (Hamid, 2004b).
• [1] *Kompas 11 April 2003; 2Kompas 10 November 2000; 3 Surya 24 September 2003; .
• [4] Pernyataan beberapa pengurus WALHI dalam konferensi pers 22 April 2004; 5www. Tempointeraktif. com. 2002; 6 www.tempointeraktif.com 2004; 7 Kedaulatan Rakyat 21 Aprill 2005; 8 Tulisan seorang pengamatan pertanian di Kompas 19 Narer 2005; 9indomedia.org, 2002.
• [10] Walaupun ia tidak berhasil menemukan daerah impiannya itu, namun pendaratannya di San Salvador yang dikiranya India menandai suatu yang sangat penting dan memulai masa kolonialisme Eropa dan terjadinya integrasi ekonomi antarnegara
• [11] UGM bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia yang beranggotakan 2300 perguruan tinggi da lembaga swadaya masyarakat telah menginisiasi kerja sama antar universitas (nasional dan internasional) untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali rencana WTO untuk memasukkan “pengetahuan” sebagai satu kategori “komoditi” ke dalam GATS yang akan ditandatangani Mei 2005 ini. Langkah ini akan diperluas melalui konsorsium universitas-universitas di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eroa, India, dan Jaringan Universitas ASEAN (Sofian Effendi, 2005: 27-28).
• [12] AS bisa menghalalkan segala bentuk proteksi untuk kepentingan nasionalnya. Diskusi in sudah muncul sejak 1950-an. Kajian tentang ini misalnya dapat dibaca dalam tulisan Steven Enke (1957) berjudul “Protection in the Name of Security” dalam Readings in Current Economics (Grossman et al, 1961).
• [13] Menurut Herry-Priyono, dari sejarah dan evolusinya makin nyata bahwa FSD bukanlah gerakan antiglobalisasi, melainkan gerakan yang tidak menyetujui agenda globalisasi yang dikendalikan World Economic Forum (FED), yakni globalisasi yang diserahkan kepada orang-orang yang berkekuasaan dan bermental banker (Kompas, 20/1/2004: 4-5)
• [14] Perkembangan data dari tahun ke tahun bisa dilihat dari web IIMD.
• [15] Petinggi militer Indonesia biasanya sangat hati-hati dan cermat membuat pernyataan yang terkait dengan isu-siyu besar, terlebih terkait dengan hubungan internasonal. Ketika menjadi Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu di forum yang diadakan ole ITB tahun lalu menyatakan praltik “globalisasi yang sedang berjalan merupakan bentuk dari kolonialisme baru”
• [16] Saat ini sekitar 46% angkatan kerja bekerja di sektor pertanian.
• [17] Tahun 2005 ini diperkirakan kemiskinan masih sekitar 38 juta jiwa, pengangguran terbuka mencapai 10,29 juta orang atau 9,89% dari total angkatan kerja, sedang angka under-employment) mencapai 40 juta
• [18] Pernyataan ini merupakan bagian dari misi PUSTEP UGM yang kini dilakukan melalui riset, diskusi, dan publikasi ilmiah.

Perekonomian Indonesia 3

Perekonomian Indonesia sejak tahun 1966

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia = Pesat

Akhir pemerintahan Sukarno, perekonomian mengalami kemunduran sangat parah :

- Pengangguran sangat tinggi

- Inflasi merambat tinggi

- Neraca ekonomi makin memburuk

- Utang luar negeri dr ngr2 Komunis besar

- Situasi politik makin menambah runyam

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama

Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun

Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila

Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas

Artinya, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri, misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja.

Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan.

Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).

Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.

Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.

Perekonomian Indonesia dalam dekade 1970-1990an secara mengejutkan berhasil pulih dengan cepat, mencapai pertumbuhan rata-rata 6,7%

- Pendapatan nasional per kapita telah

naik 230% lebih tinggi, dlm 1982.

- Inflasi mampu ditekan dari 650% per tahun menjadi di bawah 2 digit

- Dari pengimpor beras terbesar menjadi ber-swasembada beras, dan mendapat penghargaan dari FAO

Dampak Negatif Orde Baru :

kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam,

perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam,

penumpukan utang luar negeri.

menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.

Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk.

Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.

Rehabilitasi dan Pemulihan (1966-1970) :

Pengendalian inflasi di atas segala-galanya

Membangun kembali hubungan dengan komunitas negara donor dunia

Rehabilitasi infrastruktur fisik

Kebijakan moneter & fiskal ortodoks berhasil menurunkan tingkat inflasi dengan sangat cepat

Perekonomian tumbuh rata-rata 6,6% per tahun

HW Arndt mengulas optimisme ini :

- Ekonomi Indonesia mampu menikung

tajam, tujuan pertama pmth Suharto,

stabilisasi, telah tercapai

- dari keadaan mandeg (stagnasi) ber-th2,

mampu bangkit dan berekspansi sangat

signifikan.

Pertumbuhan cepat (1971 – 1981) di antara kondisi buruk :

GDP riil tumbuh 7,7% per tahun

Ada ketidakstabilan ekonomi karena faktor internal dan eksternal

- panen padi buruk di seluru dunia

- harga minyak bumi naik 4x lipat, 1973,

telah memberi pendapaan melimpah bagi

Indonesia sbg pengekspor minyak, tapi

salah kelola.

Selama periode rejeki minyak, banyak kebijakan menguntungkan bisnis kaum pribumi

Kebijakan perdagangan dan investasi asing diketatkan

Namun gejala penurunan harga minyak telah membuat khawatir para pembuat kebijakan à devaluasi rupiah, Kenop78 bukan dg alasan neraca pembayaran tapi utk mengembalikan daya saing sektor barg dagang non-migas

1979 perang Irak-Iran pecah à harga minyak bumi naik lagi, sehingga devaluasi menjadi tidak relevan.

Harga Minyak Dunia Jatuh (1982-1986).

Meningkatnya utang LN dan jatuhnya harga minyak dan merosotnya pertumbuhan ekonomi, menandai barakhirnya dekade pertumbuhan dan masa berkelimpahan yang dibiayai oleh rejeki dari minyak bumi.

Pinjaman LN yang diambl 15 th ll kini telah jatuh tempo untuk dibayar kembali.

Sektor pertanian masih berkinerja baik, begitu pula dampak dari investasi besar yg berkaitan dengan minyak bumi à perekonomian berjalan cukup baik,tmbuh 4%

Terms of trade menurun, tetap tumbuh dg tingkat lebih lambat.

Liberalisasi dan Pemulihan (1987)

Kebijakan fiscal yang ketat

Manajemen nilai tukar uang efektif

Reformasi ekonomi mikro tegas

Memberikan pemulihan yg cepat awal th 1987

Awal 1990 tampaknya sdh berhasil mengatasi krisis hutang 1980an dengan efektif

Investasi dan Inefisiensi

Investasi tinggi à perubahan teknologi à meletakkan dasar pertumbhan ekonomi berkesinambungan

Investasi lebih efisien, lebih padat karya

Dibayangi “ekonomi biaya tinggi”

Perubahan Struktur yang cepat

Naiknya hrg minyak à memperbesar sumbangan sektor industri dan mempercepat turunnya peranan sektor pertanian

Sumbangan sektor jasa juga naik, yang melatarbelakangi adl pesatnya pertumbuhan bantuan LN dan infrastruktur berbiaya minyak (70-85)

Pertumbuhan industri manufaktur yang pesat, di balik meningkatnya berbagai hambatan impor, menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan yang terbesar.

Kontribusi sektor pemerintah meningkat 3 x lipat

Perubahan Teknologi yang cepat

Situasi liberal setelah th 1966 serta peningkatan investasi menimbulkan efek kuat pada percepatan perubahan teknologi.

Teknologi yang terlalu padat karya di sektor pertanian, industri dan jasa àmulai hilang dengan cepat

Beberapa Catatan :

Kinerja yang sebenarnya perekonomian Indonesia dalam beberapa hal ebih rendah dari data yang diberikan oleh statistik resmi pemerintah

Alasannya :

- pertumbuhan yang tinggi dicapai teritama oleh membaiknya terms of trade.

- pertumbuhan terutama disebabkan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang tak terbaharui

Peningkatan hutang LN yg memperkuat dan mempertahankan pertumbuhan pd dekade 80-an, yaitu setelah dorongan pertumbuhan dari rejeki minyak bumi berakhir

Masalah pemerataan pendapatan, hanya segelintir orang kaya saja yang menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan hutang LN yg memperkuat dan mempertahankan pertumbuhan pd dekade 80-an, yaitu setelah dorongan pertumbuhan dari rejeki minyak bumi berakhir

Masalah pemerataan pendapatan, hanya segelintir orang kaya saja yang menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi.